Jumat, 04 November 2016

Sejarah Kopi dan Warkop di Pontianak

Sejarah kopi di Indonesia dimulai pada tahun 1696 ketika Belanda membawa kopi dari Malabar, India, ke Jawa. Mereka membudidayakan tanaman kopi tersebut di Kedawung, sebuah perkebunan yang terletak dekat Batavia. Namun upaya ini gagal kerena tanaman tersebut rusak oleh gempa bumi dan banjir.

Upaya kedua dilakukan pada tahun 1699 dengan mendatangkan stek pohon kopi dari Malabar. Pada tahun 1706 sampel kopi yang dihasilkan dari tanaman di Jawa dikirim ke negeri Belanda untuk diteliti di Kebun Raya Amsterdam. Hasilnya sukses besar, kopi yang dihasilkan memiliki kualitas yang sangat baik. Selanjutnya tanaman kopi ini dijadikan bibit bagi seluruh perkebunan yang dikembangkan di Indonesia. Belanda pun memperluas areal budidaya kopi ke Sumatera, Sulawesi, Bali, Timor dan pulau-pulau lainnya di Indonesia.

Pada tahun 1878 terjadi tragedi yang memilukan. Hampir seluruh perkebunan kopi yang ada di Indonesia terutama di dataran rendah rusak terserang penyakit karat daun atau Hemileia vastatrix (HV). Kala itu semua tanaman kopi yang ada di Indonesia merupakan jenis Arabika (Coffea arabica). Untuk menanggulanginya, Belanda mendatangkan spesies kopi liberika (Coffea liberica) yang diperkirakan lebih tahan terhadap penyakit karat daun.

Sampai beberapa tahun lamanya, kopi liberika menggantikan kopi arabika di perkebunan dataran rendah. Di pasar Eropa kopi liberika saat itu dihargai sama dengan arabika. Namun rupanya tanaman kopi liberika juga mengalami hal yang sama, rusak terserang karat daun. Kemudian pada tahun 1907 Belanda mendatangkan spesies lain yakni kopi robusta (Coffea canephora). Usaha kali ini berhasil, hingga saat ini perkebunan-perkebunan kopi robusta yang ada di dataran rendah bisa bertahan. Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, seluruh perkebunan kopi Belanda yang ada di Indonesia di nasionalisasi. Sejak itu Belanda tidak lagi menjadi pemasok kopi dunia.

Pulau Kalimantan Khususnya Kalimantan Barat merupakan daerah dataran rendah dan unsur tanah merupakan tanah gambut, sehingga petani kopi di daerah kalimantan barat kebanyakan membudidayakan tanaman kopi jenis robusta. Robusta berasal dari kata robust yang artinya kuat, sesuai dengan gambaran postur (body) atau tingkat kekentalannya yang kuat. Tanaman kopi jenis robusta dapat tumbuh subur didataran rendah dan daerah tropis yang basah.

Budaya minum kopi di kota Pontianak merupakan pengaruh dari budaya tionghoa yang suka menikmati kopi dan sarapan sambil ngobrol bersama di warung kopi sebelum berangkat kerja. Semakin berjalannya waktu dan berkembangnya zaman, budaya minum kopi di warung kopi pun juga ikut berubah, tidak bisa dipungkiri semua perbincangan ada di warung kopi, dari hal tegangnya politik, sidang kopi sianida, transaksi jual-beli, dan lain sebagainya. Budaya ngopi yang awalnya menghabiskan waktu sekitar 15-30 menit menjadi budaya nongkrong berjam-jam di warung kopi.

Rabu, 02 November 2016

Sejarah Kota Pontianak


Kota Pontianak adalah ibukota provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Kota ini dikenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis khatulistiwa. Di utara kota Pontianak, tepatnya Siantan, terdapat Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat yang dilalui garis khatulistiwa. Selain itu, Kota Pontianak dilalui oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kedua sungai itu diabadaikan dalam lambang Kota Pontianak. Kota ini memiliki luas wilayah 107,82 kilometer persegi.

Nama Pontianak yang berasal dari bahasa Melayu yang beraini dipercaya ada kaitannya dengan kisah Syarif Abdurrahman yang sering diganggu oleh hantu Kuntilanak ketika dia menyusuri Sungai Kapuas. Menurut ceritanya, Syarif Abdurrahman terpaksa melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu itu sekaligus menandakan di mana meriam itu jatuh, maka di sanalah wilayah kesultanannya didirikan. Peluru meriam itu jatuh di dekat persimpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak, yang kini dikenal dengan nama Kampung Beting.

Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami' (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.

Seiring berkembangnya pembangunan, Kota Pontianak yang terbilang kota kecil pun menjadi kota yang padat penduduk. Warung kopi atau yang biasa disebut warkop menjamur di penjuru Kota Pontianak. Warkop menjadi salah satu tempat tongkrongan wajib bagi penduduk Kota Pontianak. Kalau sudah soal ngopi dan berbicara dari kisah asmara sampai kisah bisnis, cafe sekelas Starbucks pun hanya dipandang sebelah mata.

Warkop di Kota Pontianak mematok harga untuk segelas kopi hitam biasanya berkisar dari Rp 3.000,- s/d Rp 6.000,- tergolong murah meriah karena para pengunjung rata-rata menghabiskan waktu sekitar 2-3 jam, tempat nongkrong yang asik disediakan wifi gratis membuat Warkop banyak diminati dari berbagai kalangan dari usia muda hingga kakek bercucu tiga.